Jakarta, Komun.id
Bawaslu perlu mengembangkan aturan khusus yang mengatur kampanye media sosial.
Tanjungpinang (ANTARA) – Komentator politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Bismar Arianto menilai kampanye media sosial rawan konflik politik karena perbedaan kepentingan.
“Bawasl perlu mengembangkan aturan khusus yang mengatur kampanye media sosial untuk mencegah atau meminimalkan konflik ini. Ketentuan ini juga sebagai upaya untuk menutup ruang abu-abu dalam penegakan aturan,” kata Raja, mantan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini. Ali Hadji, Universitas Maritim, Tanjungpinang, Kamis.
Hingga saat ini, kata dia, belum ada aturan tegas (Bawaslu, Red) yang mengatur tentang sistem kampanye di media sosial. Padahal hal ini penting, karena merupakan tantangan dan ancaman yang perlu dijawab menjelang pemilihan umum 2024 dan pemilihan kepala daerah.
Di era digitalisasi, kata dia, peserta pemilu dan pilkada akan semakin banyak menggunakan media sosial sebagai sarana berkampanye. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kampanye media sosial jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan kampanye konvensional.
Tak ayal, para pimpinan parpol, capres, caleg, dan peserta pemilu akan lebih memanfaatkan jejaring sosial sebagai sarana untuk mensosialisasikan diri dan programnya. Selain itu, beberapa kajian akademis juga menemukan bukti bahwa peserta pilkada dan pemilihan kepala daerah menggunakan buzzer untuk mencitrakan dirinya dan merusak citra lawan politiknya.
Jauh sebelum dimulainya fase pemilu 2024 (14 Juni 2024), aksi buzzer sudah terlihat di sejumlah media sosial, bahkan viral. Aktivitas buzzer sebagai tim yang menguasai jejaring sosial untuk memenangkan kandidat tertentu, selain kritik pedas, kerap menimbulkan komentar panas dan tidak pantas. Kondisi ini dapat menimbulkan konflik politik di dunia nyata.
“Hasil penelitian mengungkapkan dampak negatif dari tindakan buzzer di masyarakat, seperti pembentukan faksi atau kelompok tertentu. Bahkan tindakan tersebut menimbulkan permusuhan dan persaingan tidak sehat. Padahal, pilkada dan pilkada bertujuan untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas,” ulangnya.
Terkait masalah ini, Bismar menilai ruang buzzer harus dibatasi sesuai aturan. Kampanye media sosial juga perlu menangani isu-isu dari hilir ke hulu untuk memastikan pemilu yang menguntungkan dan pemilu lokal.
“Elemen lain yang perlu disiapkan adalah sumber daya manusia, yaitu ahli teknologi informasi, serta peralatan pendukungnya,” tuturnya.
Sebelumnya, anggota Bavaslu asal Kepulauan Riau Indravan membenarkan bahwa kampanye yang dilakukan peserta pemilu dan peserta pemilukada serentak 2024 di jejaring sosial rawan konflik.
“Konflik muncul karena perbedaan kepentingan politik, sehingga menimbulkan masalah lain seperti dendam dan gesekan antar kelompok pendukung,” kata Indravan.
Penggunaan bahasa cabul, ejekan atau hinaan pribadi satu sama lain oleh peserta pemilu dan pendukungnya, penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan hal negatif lainnya berpotensi mengubah konflik di dunia maya menjadi dunia nyata. Padahal, kondisi seperti itu seharusnya tidak muncul jika semua peserta pemilu serentak 2024 dan pemilihan kepala daerah dapat menahan diri dan saling menghormati.
Perdebatan di grup media sosial seperti WhatsApp dan Facebook cenderung memanas karena satu pihak atau masing-masing pihak mempertahankan argumen atau sudut pandang. Belum lagi masalah yang muncul akibat akun palsu yang terlibat perdebatan dan bersifat provokatif.
“Ini pengalaman mencermati Pilkada 2019 dan Pilkada 2020,” ulangnya.
Indravan mengatakan media sosial dan media siber bisa menjadi alat kampanye utama yang digunakan oleh para kontestan pemilu 2024 karena pelaksanaan tahapan kampanye pada pemilu 2024 diperkirakan lebih singkat dibandingkan pemilu sebelumnya.
Masa kampanye pemilu 2024 diperkirakan hanya 75 hari, sedangkan pada pemilu 2019 akan mencapai 90 hari. Fase voting akan berlangsung pada 14 Februari 2024 sehingga fase kampanye berakhir pada 10 Februari 2024 atau sebelum masa tenang.
Artinya, tahap pra-pemilu akan dimulai pada Desember 2023,” katanya.
Masa kampanye yang relatif singkat kemungkinan akan dimanfaatkan oleh para juru kampanye untuk berkomunikasi dengan diri mereka sendiri dan program melalui jejaring sosial dan media online.
“Karena media sosial dan media siber dinilai lebih luas jangkauannya dan lebih efektif,” tuturnya.
Baca juga: Akademisi: Kampanye Toleransi Beragama Perlu Optimalisasi Media Sosial
Baca juga: Bawaslu: Pengawasan Bersama Kampanye Pemilu di Jejaring Sosial Humas
Reporter: Nicholas Panama
Redaktur: Budisantoso Budiman
HAK CIPTA © ANTARA 2022
(AV/JK)