Komun.id – Musisi Widy Vierra mengungkapkan bahwa dirinya telah diculik dan dianiaya beberapa tahun lalu. Peristiwa itu terjadi pada malam hari, setelah Widy sedang berlatih basket di sekitar wilayah Jakarta.
Bercerita di podcast Deddy Corbuzier, Widy menuturkan saat itu dirinya sedang berjalan sendiri untuk pulang. Tiba-tiba sejumlah pria muncul dan memaksanya masuk ke dalam mobil.
Beberapa penculik, kenang Widy, masih dalam keadaan mabuk. Sang penculik diduga tidak mengetahui bahwa dirinya adalah vokalis band Vierra.
“Saya coba memberontak saat kesulitan menelepon (mantan pacar). Setelah saya dijemput, saya sudah bilang siapa saya, dan untungnya mereka tahu Widy Vierra ini punya tato,” kata Widy.
Baca juga:
Menangis di Podcast Deddy Corbuzier, Widy Vierra Ungkap Kronologis Penculikan dan Pelecehan
Meski akhirnya diturunkan dari mobil, Widy mengungkapkan pernah dilecehkan.
“Ada apa denganku. Ya, cukup tahu saja, apa yang salah denganku dulu,” katanya.
Enggan membuat laporan, Widy akhirnya pergi ke kantor polisi terdekat bersama temannya.
Tindakan kekerasan dan pelecehan seksual memang menjadi risiko bagi siapa saja.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendorong perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik seksual, pelecehan seksual, maupun kekerasan fisik untuk berani melaporkan kasus yang dialami agar segera mendapatkan pendampingan psikologis dan pertolongan yang tepat.
Baca juga:
Bejat! Seorang pria di Gresik melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anak kecil di depan sebuah toko kelontong, aksinya terekam CCTV
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, pernah mengatakan bahwa menyimpan sendiri tindakan pelecehan atau kekerasan berisiko menyebabkan trauma pada korban dan berdampak buruk pada kesehatan mentalnya.
Apalagi jika ada stigma negatif dari masyarakat. Korban cenderung takut dan trauma untuk melapor ke aparat penegak hukum. Menurut Ratna, stigma negatif terhadap korban bisa berasal dari lingkungan keluarga, teman, komunitas, lingkungan kerja, maupun media sosial.
“Makanya kami mendorong para korban untuk berani melapor ke posko pelayanan pengaduan, seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau bisa juga melaporkan kasusnya ke telepon Sahabat Perempuan dan Anak. pusat milik Kementerian PPPA, yaitu SAPA129 atau hotline Whatsapp 08211-129-129,” dia berkata.
Data PPA SIMFONI (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) periode Januari – Maret 2021, terdapat 259 laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Dari Survei Pengalaman Hidup Wanita Nasional tahun 2016, juga ditemukan bahwa satu dari tiga wanita berusia 15 hingga 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual oleh pasangan atau non-pasangan selama hidupnya.
(AV/JK)